Sahabat Hingga Akhir Hayat (Natsir~Hamka)

“Di waktu itu saya bertemu seorang pemuda sebaya saya, tetapi lebih tampan dari saya. Wajahnya tenang, simpatik, selalu senyum dan berkaca-mata. Tingginya sedang, sikapnya lemah-lembut. Apabila kita bicara dengan dia, butir-butir pembicaraan kita beliau perhatikan dengan seksama, kemudian bila beliau tidak setuju atau berlain pendapat, beliau nyatakan komentarnya, nampaknya sambil lalu, tetapi dengan tidak kita sadari, komentarnya itu telah menyebabkan kita harus meninjau pendapat kita tadi dengan seksama.”[6]

Hubungan Nasir dan Buya Hamka makin padu karena kesamaan paham mereka tentang agama. Yaitu paham ‘Kaum Muda’ atau paham yang menggerakan reformasi agama, untuk kembali pada Quran dan Sunnah.

Zaman terus berputar, sejarah datang mewarnai perjalanan bangsa ini. Selepas kemerdekaan, Natsir dan Buya Hamka sama-sama bergerak mengisi tinta sejarah. Buya Hamka banyak bergerak di medan dakwah, Natsir menceburkan diri dalam lautan politik. Namun pena tajam keduanya membanjiri media massa yang ada untuk membimbing dan menggerakkan langkah umat.

Demikianlah meskipun tempat berjauhan, namun hati terasa selalu dekat. Di waktu-waktu yang penting selalu juga bertemu dan bertukar fikiran.”[8]

Satu kejadian unik, diingat Natsir saat itu. Ketika ia sedang menghidangkan pikirannya dipodium, ‘Dasar-Dasar Hidup Bernegara’ yang mengedepankan Islam, dihadapan golongan Islam, Nasionalis, Komunis, Katolik, Protestan dan lainnya, Buya Hamka sibuk menggoreskan penanya. Mengalirkan sajaknya. Setelah Natsir turun dari podium, Buya Hamka menyisipkan secarik kertas ke dalam saku Natsir. Kertas itu berisi sajak yang menggugah.[9]

“Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang dihadapan matamu
Namun yang benar kau sebut benar juga
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada N
usa
Jibril berdiri di sebelah kananmu
Mikail berdiri di sebelah kiri
Lindungilah Ilahi memberi tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu, Hai Natsir, suara kaum-mu
Ke mana lagi Natsir, ke mana kita lagi
Ini berjuta kawan sefaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan!
Dalam daftarmu…”
[10]

Sebuah sajak yang menggugah Natsir dan tak akan dilupakannya. Terlebih ketika suasana makin mencekam. Presiden Soekarno mentahbiskan dirinya sebagai pemimpin besar revolusi dengan Demokrasi Terpimpin sebagai tunganggannya. Komunis menjadi penumpang gelapnya. Melindas siapa pun yang tak sejalan. Natsir menyingkir kemudian bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sebagai aksi untuk mengkoreksi rezim Soekarno. Partai Masyumi tempat bernaung Natsir dan Hamka semakin terjepit. Dalam perlawannnya di sumatera barat, 1959, Natsir mendengar suara lantang Buya Hamka. Berpidato di Konstituante, yang semakin terperosok ke dalam genggaman Soekarno.

“Trias Politica sudah kabur di Indonesia
Demokrasi terpimpin adalah totaliterisme
Front Nasional
adalah partai Negara

“Pidato Hamka yang tersiar juga di surat kabar dan radio dan sampai juga ke tempat saya, yang waktu itu berada di staisun radio PRRI di Sumpur Kudus, Sumatera Barat.” kenang Natsir.[11]

Natsir kemudian menambahkan, “Suara Hamka demikian itu, kami rasakan sebagai halilintar di siang hari, yang tadinya kami tak duga-duga Pada malamnya, tanggal 23 Mei, saya coba-coba menjawab Hamka dengan sebuah sajak ang disiarkan oleh radio PRRI, bunyinya sebgai berikut

DAFTAR
Saudaraku Hamka
Lama, Suaraya tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongang mortar dan mitraleur
Dentuman bom meriam sahut –menyahut
Kudengar tingkahan irama sajakmu itu
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku
Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam “Daftar”

Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti
Melantang menyambar api kalimah-hak dari mlutmu
Yang biasa besenandung itu
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam


pancangkan!
Pancangkan olehmu wahai Bilal!
Pancangkan Panji-panji Kalimat Tauhid,
Walaukarihal –kafirun!
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Ke dalam “daftarmu”

Saudaramu, Tempat 23-5-1959
[12]

Benar saja. Keduanya memang masuk daftar dalam saku rezim soekarno. Natsir masuk tahanan terlebih dahulu. Buya Hamka pun menyusul pada 27 Januari 1963.

“Dalam keadaan tak tahu apa kesalahan saya dalam tengah hari letih berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari ketentraman saya dengan anak istri, disisihkan dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam tahanan,” tutur Buya hamka.[13]

Natsir dan Hamka sama-sama merasakan direnggutnya kebebasan mereka. Walaupun tempat penahanan mereka berdua berbeda, namun keduanya sama-sama merasakan kepedihan rezim yang berkuasa. Namun kabar itu akhirnya terdengar juga. Setelah rezim Soekarno terguling, mereka merasakan segarnya angin kebebasan.

Hingga akhirnya, kabar duka pun terdengar. 24 Juli 1981, umat Islam berduka. Buya Hamka wafat.

Mohammad Natsir. 12 tahun kemudian, 6 Februari 1993, takdir Allah tergores dalam lembar sejarah umat. menyusulah sang sahabat. Sahabat yang diikat oleh kesamaan cita hingga akhir hayat.   [15]

catatan kaki :
 
6. Panitia Buku Peringatan Moh. Natsir/Moh. Roem 70 tahun. M. Natsir. 70 tahun Kenang-kenangan Kehidupan & Perjuangan. Pustaka Antara. Jakarta. 1978

8. Panitia Buku Peringatan Moh. Natsir/Moh. Roem 70 tahun. M. Natsir. 70 tahun Kenang-kenangan Kehidupan & Perjuangan. Pustaka Antara. Jakarta. 1978
 9. 70 th hamka
 10. Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Yayasan Nurul Islam. Jakarta.
 11. Idem
 12. Idem
13. Prof. DR. Hamka. Tafsir Al Azhar Juz 1. Pustaka Panjimas. Jakarta. 2004.

15. Hamka, Irfan. Ayah. Penerbit Republika. Jakarta. 2013.

Sumber tulisan : http://www.islampos.com/natsir-dan-hamka-sahabat-hingga-akhir-hayat-2-habis-76797/



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seruan Kerinduan

Kejujuran itu seperti Es Krim

Almamater ~ Taufiq Ismail