Muhammad Natsir, Dunia Islam dan Politik Indonesia
M Natsir dan Dunia Islam
Ketika Subandrio naik haji dan ingin bertemu dengan Raja Faisal, Raja Faisal tidak mau menerimanya. Setelah diusahakan oleh pihak KBRI Jedah dan prosesnya agak lama, akhirnya Raja Faisal mau juga menerima Subandrio yang saat itu menjadi orang penting di Indonesia. Subandrio menceritakan tentang Islam di Indonesia, juga menceritakan perannya membela Islam, kisah naik haji dan lain-lain.
Tanpa disangka dan diduga oleh Subandrio, Raja Faisal langsung bertanya, “Kenapa saudara tahan Muhammad Natsir?”. Pak Natsir pernah diasingkan oleh pemerintah Orde Lama ke Batu Malang, Jawa Timur (1960-1962) dan menjadi “tahanan politik” di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta (1962-1966).
“Saudara tahu”, kata Raja Faisal. “Muhammad Natsir bukan pemimpin umat Islam Indonesia saja, tetapi pemimpin umat Islam dunia ini, kami ini!”
Dalam percaturan dunia Islam,
khususnya di negara-negara Arab, pak Natsir sangat dikenal, dihormati
dan disegani, beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa
organisasi Islam tingkat internasional, tahun 1967 diamanahkan
menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami),
Karachi, Pakistan, tahun 1969 menjadi anggota World Muslim
League, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1972 menjadi anggota Majlis A’la
al-Alam lil Masajid, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1980 menerima “Faisal
Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal,
Saudi Arabia, tahun 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The
International Islamic Charitable Foundation, Kuwait, pada tahun 1986
menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic
Studies, London, Inggris dan angota Majelis Umana’ International
Islamic Univesity, Islamabad, Pakistan.
Ketika Subandrio naik haji dan ingin bertemu dengan Raja Faisal, Raja Faisal tidak mau menerimanya. Setelah diusahakan oleh pihak KBRI Jedah dan prosesnya agak lama, akhirnya Raja Faisal mau juga menerima Subandrio yang saat itu menjadi orang penting di Indonesia. Subandrio menceritakan tentang Islam di Indonesia, juga menceritakan perannya membela Islam, kisah naik haji dan lain-lain.
Tanpa disangka dan diduga oleh Subandrio, Raja Faisal langsung bertanya, “Kenapa saudara tahan Muhammad Natsir?”. Pak Natsir pernah diasingkan oleh pemerintah Orde Lama ke Batu Malang, Jawa Timur (1960-1962) dan menjadi “tahanan politik” di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta (1962-1966).
“Saudara tahu”, kata Raja Faisal. “Muhammad Natsir bukan pemimpin umat Islam Indonesia saja, tetapi pemimpin umat Islam dunia ini, kami ini!”
M Natsir dan Politik Indonesia
Mungkin karena itulah sampai tahun ini—seratus tahun setelah kelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat—tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan bagian dari dunia kontemporer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi ini memimpin Dewan Dakwah Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.
Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.
Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pengujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalisme-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.
Dalam buku Natsir, 70 Tahun
Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, George McTurnan Kahin,
Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa
Indonesia pada saat itu, bercerita tentang pertemuan pertama yang
mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya
tentang negeri ini. Tapi yang membuat Kahin betul-betul
tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. ”Ia memakai kemeja
bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai
pemerintah mana pun,” kata Kahin.
Mungkin karena itulah sampai tahun ini—seratus tahun setelah kelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat—tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan bagian dari dunia kontemporer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi ini memimpin Dewan Dakwah Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.
Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.
Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pengujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalisme-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.
Lebih
dari satu dasawarsa berselang, keduanya ”bertemu” lagi dalam keadaan
yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan
Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda
pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi
ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat
negeri yang terbelah-belah oleh model federasi.
Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali
ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik
pecah-belah Belanda.
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuangan Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.
Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.
Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel ”musuh utama” pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru—pulau di Maluku yang menjadi pembuangan tahanan politik pengikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.
Tokoh yang sederhana ini wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 84 tahun. Semoga Allah ampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan dilapangkan kuburnya, dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih di dalam surga.
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuangan Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.
Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.
Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel ”musuh utama” pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru—pulau di Maluku yang menjadi pembuangan tahanan politik pengikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.
Mohammad Natsir meninggalkan kita
pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik
kelemahlembutannya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap.
Ada
keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan
dengan sikap yang bersih, konsisten, dan bersahaja itu bukan mustahil
meskipun penuh tantangan. Hari-hari belakangan ini kita
merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh.
Sebuah alasan yang pantas untuk menuliskan tokoh santun itu ke dalam
banyak halaman laporan panjang edisi ini.
Walau dikenal luas oleh para tokoh
dunia, Pak Natsir tetap menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Pak
Natsir merupakan salah satu dari sedikit tokoh Islam
Indonesia yang sungguh-sungguh berjuang menghidupi Islam, bukan
sungguh-sungguh hidup dari memanfaatkan Islam, sehingga menjadi gemuk di
jalan dakwah, seperti yang sekarang banyak dikerjakan
orang-orang yang mengaku tokoh Islam. Bagi Pak Natsir, dunia dengan
segala gemerlapnya adalah kepalsuan, bukan hakikat.
Tokoh yang sederhana ini wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 84 tahun. Semoga Allah ampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan dilapangkan kuburnya, dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih di dalam surga.
Sumber tulisan :
http://zackyardan.jimdo.com/arsip/dialog/puisi-buya-hamka-kepada-m-natsir-dan-biografi/
Komentar
Posting Komentar